Penulis: Aisyah Banowati
Pengepungan di Bukit Duri adalah sebuah babak baru dalam karier sutradara Joko Anwar. Setelah sukses besar lewat Pengabdi Setan, Perempuan Tanah Jahanam, hingga Siksa Kubur, Pengepungan di Bukit Duri akan menjadi karya kesebelas sutradara Joko Anwar yang tayang di bioskop Tanah Air.
Sejak menggarap Gundala di tahun 2019 silam, Joko Anwar akhirnya kembali memproduksi film bergenre thriller-aksi. Rencananya, Pengepungan di Bukit Duri dijadwalkan tayang pada 17 April 2025. Joko Anwar sendiri bukan hanya duduk sebagai sutradara, ia juga bertindak sebagai produser bersama Tia Hasibuan, serta menjadi penyunting gambar.
Melalui Pengepungan di Bukit Duri, Joko Anwar buat gebrakan baru dengan bekerja sama dengan studio Hollywood Amazon MGM Studio. Dalam bahasa Inggris, film ini berjudul The Siege at Thorn High.
Ini kali pertama studio legendaris Amazon MGM Studio bekerja sama dengan rumah produksi Asia Tenggara untuk perilisan film di bioskop. Sebelumnya, Amazon MGM Studios dikenal dengan film-film prestisius seperti Challengers, Blink Twice, American Fiction, dan Air.
Sinopsis Pengepungan di Bukit Duri

Dengan berani, Pengepungan di Bukit Duri menggambarkan situasi distopia yang terjadi di Indonesia pada tahun 2027. Pada masa tersebut keadaan penuh dengan gejolak. Menggambarkan kondisi masyarakat berada di ambang kehancuran, dipicu oleh diskriminasi dan kebencian rasial.
Kekerasan-kekerasan yang terjadi, direpresentasikan dalam aksi laga yang mengancam nyawa di dunia sekolah. Di tengah semua itu, muncul Edwin yang merupakan guru pengganti di SMA DURI yang dikhususkan untuk siswa-siswi bermasalah. Kedatangan Erwin didorong oleh permintaan kakaknya.
Sebelum kakaknya meninggal, Edwin berjanji untuk menemukan anak kakaknya yang hilang. Pencarian Edwin membawanya menjadi guru di SMA Duri, sekolah untuk anak-anak bermasalah. Di sana, Edwin harus berhadapan dengan murid-murid paling beringas sambil mencari keponakannya. Namun, ketika akhirnya ia menemukan anak kakaknya, kerusuhan pecah di seluruh kota dan mereka terjebak di sekolah.
Mendadak, Edwin harus menghadapi pertarungan untuk bertahan hidup ketika sekolah tempatnya mengajar mendadak berubah menjadi ajang pertarungan hidup dan mati.
Jajaran pemain
Pengepungan di Bukit Duri menandai dua dekade perjalanan Joko Anwar sebagai sutradara. Joko Anwar sebagai sosok sutradara selalu berani mengangkat narasi yang tidak nyaman tapi penting. Film ini turut menjadi film pertama yang mempertemukan Joko Anwar, Morgan Oey—pemeran Edwin—dalam satu proyek yang sama.
Selain Morgan Oey, nama artis beken di industri hiburan Tanah Air juga ikut terlibat dalam film ini. Film ini dibintangi oleh Morgan Oey, Omara Esteghlal, Hana Pitrashata Malasan, Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutters, Faris Fadjar Munggaran, Sandy Pradana.
Selain itu, nama Raihan Khan, Farandika, Millo Taslim, Sheila Kusnadi, Shindy Huang, Kiki Narendra, Lia Lukman, Emir Mahira, Bima Azriel, Natalius Chendana, dan Landung Simatupang juga hadir dalam film ini.
Produksi di balik layar
Latar dalam Pengepungan di Bukit Duri digambarkan pada Indonesia tahun 2027. Film ini memperlihatkan suasana yang kacau, ketika Jakarta mengalami sebuah kemunduran besar-besaran. Tim desainer produksi pun tidak setengah-setengah dalam menciptakan imajinasi liar tersebut.
Salah satu set yang dibuat oleh tim produksi menunjukkan sebuah latar pecinan underground. Hal tersebut mengindikasikan sebuah kemunduran meski secara latar waktu terjadi di Indonesia masa depan. Banyak sampah berserakan, coretan di berbagai tempat umum, hingga dunia luar yang lebih berantakan.
Pada set lain, set sekolah SMA Bukit Duri, dibangun di atas bangunan bersejarah bernama Laswi Heritage di Bandung.
Dalam cerita, sekolah SMA Bukit Duri ini awalnya adalah penjara. Karena itu, tim artistik harus mendesain dua kali, pertama sebagai bekas penjara, kedua sebagai sekolah. Desainer produksi membangun sekitar 22 titik set sekolah mulai dari ruang kelas, ruang kepala sekolah, lorong, hingga ruang security.
Dalam sebuah wawancara Joko Anwar mengatakan bahwa setiap karakter tidak digambarkan sebagai manusia yang jahat. Namun, mereka hanya terjebak pada sebuah ketidakberuntungan.
Meski secara film memiliki nuansa yang ‘kelam’ dalam mengemas Indonesia di masa mendatang, namun Joko Anwar juga ingin mengajak penonton untuk berefleksi terhadap situasi Indonesia saat ini.