Pengguna X dengan akun @karaaaes seketika menjadi viral di X setelah ia mengungkapkan bahwa satu kali prompt AI menghabiskan biaya setara dengan dua botol air yang digunakan untuk pendinginan server. Cuitannya ini langsung dibanjiri lebih dari 500 komentar. Banyak pengguna lain yang meminta penjelasan lebih lanjut mengenai kebenaran klaim tersebut.
“gua nanya2 ke senior gua di IT company, katanya setiap kali kita nge prompt itu ngabisin 2 aqua botol air bersih utk biaya cooling server AI~,” tulis @karaaaes, Rabu (12/11).
AI hadir membawa kemudahan, namun alam harus menjadi korban

Melansir dari situs resmi IE Insights yang ditulis María Montero, seorang Sustainability & Business Strategi sekaligus ESG Intelligence & Responsible AI dalam tulisannya yang berjudul “From Cloud to Cup: How Much Water Does Your ChatGPT Drink?” mengungkapkan bahwa memang ada ketegangan antara kemajuan digital dan batasan lingkungan.
Perhitungan yang dilakukan oleh Pengfei Li dari Rochester Institute of Technology dan rekannya pada tahun 2023 menunjukkan bahwa penggunaan kecerdasan buatan, khususnya ChatGPT, memiliki jejak air yang signifikan.
Laporan yang diterbitkan oleh Pengfei Li menyebutkan bahwa setiap 20 hingga 50 pertanyaan yang diajukan ke ChatGPT memerlukan air pendingin server setara dengan satu botol air 500 ml. Angka ini berarti setiap prompt rata-rata membutuhkan air antara 10 hingga 25 mililiter.
Meskipun terkesan kecil, konsumsi ini akan terakumulasi dengan cepat. Bayangkan saja, sebanyak dua puluh prompt per hari saja dapat menghabiskan hingga setengah liter air. Hal ini menggarisbawahi dampak lingkungan yang tidak terlihat.
Bayangkan ketika penggunaan air tersebut dikalikan dengan jutaan pengguna di seluruh dunia yang mengandalkan AI untuk pekerjaan, rapat, atau penelitian. Total kebutuhan air untuk mendinginkan pusat data secara global menjadi sangat besar.
Sejalan dengan data ini, Morgan Stanley memproyeksikan jika pusat data AI dapat mengonsumsi lebih dari satu triliun liter per tahun di tahun 2028. Sementara itu, di Inggris sebuah laporan pemerintah memproyeksikan jika negara akan kekurangan air harian hampir lima miliar liter di tahun 2050.
Laporan tersebut menegaskan bahwa angka tersebut bukanlah sekadar angka. Ini adalah air yang diambil dari pertanian, ekosistem, hingga komunitas yang kemudian dialirkan ke mesin kecerdasan buatan yang tidak terlihat.
Dampak nyata mulai terlihat, kekeringan melanda sejumlah wilayah
Peningkatan kebutuhan air untuk pendinginan server AI telah memicu ketegangan yang signifikan antara perusahaan teknologi global dan masyarakat setempat.
Di Aragón, Spanyol, meletus protes keras dengan slogan yang ikonik. Slogan tersebut berbunyi: “Awan anda mengeringkan sungai saya”. Slogan ini secara lugas mencerminkan konflik langsung antara kebutuhan air pusat data dan kelangkaan sumber daya air lokal.
Situasi serupa terjadi di Santiago, Chili. Di wilayah tersebut, pusat data Google di Cerrillos menuai kritik tajam hingga dibawa ke pengadilan. Di pengadilan terungkap Pengajuan ahwa fasilitas tersebut mengkonsumsi sekitar 7,6 juta liter air minum per hari di wilayah yang sudah mengalami kekeringan parah.
Adakah solusi untuk mengatasi masalah ini?
Selalu ada solusi dari setiap masalah. Dalam kasus ini, kita bisa berkaca dengan apa yang dilakukan oleh Google. Raksasa teknologi tersebut sempat menghadapi tantangan besar terkait penggunaan air untuk pendinginan pusat data di Mesa, Arizona.
Pusat data dibangun di Arizona tersebut berpotensi memakai hingga 15 juta liter air per hari. Hal ini kemudian yang menyebabkan Google menghadapi tekanan dari masyarakat setempat. Untuk mengatasi masalah tersebut, Google kemudian beralih ke sistem pendingin udara khusus yang memanfaatkan udara luar terfiltrasi.
Cara tersebut sehingga secara drastis mengurangi bahkan hampir menghilangkan kebutuhan air minum untuk operasional pusat data. Pergeseran ini memungkinkan penghematan ratusan juta liter air per tahun dibandingkan pusat data yang memakai menara pendingin air tradisional.
Namun, pendinginan udara di iklim panas dan kering seperti Arizona membutuhkan lebih banyak listrik. Untuk menyeimbangkan lonjakan konsumsi energi tersebut, Google kemudian berinvestasi besar dalam energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan penyimpanan baterai.
Targetnya, pusat data di Arizone tersebut dapat mencapai pasokan energi yang 80 persen bebas karbon secara jam-per-jam dalam satu tahun setelah beroperasi penuh. Hal ini sejalan dengan komitmen Google menuju operasi 24/7 berbasis energi bebas karbon pada 2030.
Sebagai penutup artikelnya, María Montero menegaskan bahwa jejak air AI yang signifikan tidak berarti kita harus meninggalkan teknologi AI. Sebaliknya, ia menekankan perlunya pendekatan yang bijak dan berkelanjutan.
“Jalan ke depan bukanlah tentang meninggalkan AI. Tetapi tentang membangun sistem AI yang bijak yang menghemat lebih banyak air daripada yang mereka konsumsi. Regulasi perlu memastikan bahwa pusat data menggunakan air secara bertanggung jawab dan masyarakat yang menjadi tuan rumahnya mendapatkan manfaat langsung dari keberadaannya. Demikian pula, kontrak sosial seputar AI harus menjamin bahwa kaum miskin tidak dibiarkan menanggung biaya teknologi yang dirancang untuk melayani mereka yang paling istimewa.”