Seluruh isi dalam tulisan ini sepenuhnya opini penulis.
Pangku berhasil memboyong penghargaan sebagai Film Cerita Panjang Terbaik dalam gelaran Festival Film Indonesia 2025, (20/11). Bukan hanya boyong satu piala, film debut Reza Rahardian sebagai sutradara ini juga boyong tiga penghargaan lainnya.
Selain boyong penghargaan Film Cerita Panjang Terbaik, pemeran dalam Pangku, Christine Hakim, menerima penghargaan Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik. Sementara itu, Reza Rahardian yang terlibat langsung dalam penulisan skenario bersama Felix K. Nesi turut memboyong penghargaan Penulis Skenario Asli Terbaik.
Dan, terakhir, Eros Eflin berhasil menerima penghargaan Pengarah Artistik Terbaik berkat elemen visual yang luar biasa. Mulai dari tampilan visual dan estetika, desain set, properti, tata rias, hingga kostum.
Segelas kopi untuk menyambung hidup

Kemenangan Pangku langsung jadi bahan perbincangan di media sosial. Banyak yang berkomentar dan menyetujui bahwa film yang pertama kali debut di Busan International Film Festival (BIFF) 2025 tersebut memang pantas meraih penghargaan tertinggi sebagai Film Cerita Panjang Terbaik di FFI 2025.
Termasuk saya, yang mengakhiri Pangku dengan derai air mata. Sejujurnya, saya sendiri tidak benar-benar tahu kriteria apa saja yang digunakan dewan juri FFI 2025 untuk menentukan sebuah film layak mendapat penghargaan. Namun sebagai penonton, Pangku berhasil menyentil realita yang kerap tersembunyi di antara rumah-rumah di pinggiran Pantura.
Pangku membuka cerita lewat sosok Sartika yang tengah hamil delapan bulan. Berbekal tekad untuk mencari kerja, Sartika menumpang di truk besar untuk pergi dari desa. Naas, perempuan yang tengah hamil tanpa sosok suami seperti dirinya dianggap pembawa sial. Ia kemudian ditinggalkan sendirian di tengah jalan Pantura yang gelap—tanpa perlindungan.
Sartika berjalan pelan. Menyusuri deretan kelab murahan di antara rumah-rumah kumuh sepanjang Pantura. Tubuhnya yang lelah akhirnya menuntunnya untuk beristirahat di warung Bu Maya yang tampak sepi pelanggan. Bu Maya yang ketus, tergerak melihat Sartika yang tengah hamil.
Ia membawa Sartika ke rumahnya, memberinya makan, tempat tinggal, dan bahkan membantu proses persalinannya. Bu Maya yang blak-blakan kemudian mengajak Sartika untuk berjualan kopi. Ia meyakinkan, “Cuma duduk dan nyeduh kopi,” katanya. Dan Sartika yang butuh makan, butuh uang, dan harus menghidupi anaknya akhirnya menyerah dengan keadaan.
Untuk Sartika, berhenti bukan pilihan
Pangku bukan mau ngulik pekerjaan “mangku” yang kerap dianggap aib orang banyak orang, tapi realita pelik dibalik keputusan Sartika.
Hidup dalam kemiskinan, dengan Bayu yang terus menangis kelaparan dan kebutuhan rumah tangga yang tak terpenuhi, Sartika akhirnya terpaksa menerima pekerjaan yang sebenarnya tidak diinginkannya. Tekanan ekonomi memang membuatnya pasrah, namun ia juga masih punya cita-cita. Sartika ingin Bayu sekolah.
Namun, sistem sosial yang tidak berpihak pada perempuan kembali mematahkan langkahnya. Meski seragam dan biaya sudah disiapkan, Bayu tidak bisa didaftarkan ke sekolah hanya karena ia “tidak punya bapak”.
Dalam keputusasaan itulah hadir Hadi, sopir truk ikan yang perlahan memberi kehangatan, perhatian, dan akhirnya menawarkan pernikahan. Bagi Sartika, Hadi adalah kesempatan untuk memulai ulang. Bayu bisa sekolah, dan ia tidak lagi harus menjual kopi sambil dipangku.
Sayangnya, harapan itu runtuh ketika ia akhirnya mengetahui bahwa Hadi sudah memiliki istri. Hadi memang sempat menjadi penyelamat, namun pada akhirnya ketidakjujuran Hadi membawa luka baru.
Meski pahit dan perih, Sartika terus berjalan. Ia menapaki hidup dengan luka yang belum sempat sembuh, namun terus dipaksa untuk maju. Ia tidak pernah diberi pilihan untuk beristirahat, apalagi berhenti. Kemiskinan terus mencekiknya tanpa belas kasih. Sesakit apapun hidupnya, ada perut lapar yang terus berteriak minta diisi.
Bukan orangnya yang jahat, tapi sistem yang tidak berpihak
Melalui perjalanan Sartika, pada akhirnya saya menyadari bahwa sistem sosial tidak benar-benar mendukung perempuan. Pangku menegaskan bahwa kemiskinan bukan sekadar kurangnya uang, tetapi juga hasil dari sistem yang secara struktural meminggirkan perempuan.
Perempuan seperti Sartika kerap dipaksa menyambung hidup bukan melalui hak yang seharusnya dijamin negara, tetapi melalui pekerjaan yang membuat tubuhnya diperlakukan sebagai komoditas di mata laki-laki. Situasi ini berulang bukan karena mereka kurang berusaha, melainkan karena negara gagal menjalankan tugas paling dasar untuk melindungi warganya.
Ketika negara tidak hadir, Sartika dibiarkan berjalan sendirian di antara celah-celah kebijakan yang hanya memihak mereka yang memenuhi standar “keluarga ideal”. Padahal kehidupan di lapangan jauh lebih rumit dari sekadar kolom status dalam formulir pendaftaran.
Ada perempuan yang membesarkan anak seorang diri, ada yang ditinggalkan. Semuanya—mencoba bertahan—hidup dalam kenyataan yang tidak pernah diperhitungkan oleh sistem.
Terasa dekat, terasa nyata
Penceritaan film Pangku menjadi semakin menyentuh melalui tampilan visual yang dibuat sederhana yang justru membuat karakter di dalamnya terasa nyata dan dekat. Latar Pantura yang panas dan gersang, buliran keringat yang terus luruh, dan udara pantai yang lengket, benar-benar berhasil menampilkan sisi kejujuran dari realitas tersebut.
Pemilihan lagu “Rayuan Perempuan Gila” dari Nadin Amizah berhasil memperkuat emosi dalam cerita. Kabarnya, lagu ini dipilih karena kesamaan visi dengan karakter Sartika. Sementara itu, lagu “Ibu” dari Iwan Fals yang digunakan sebagai penutup berhasil menjadi pemicu tangis dengan sajian akhir yang paling realistis.
Dan lagu “Ibu” dari Iwan Fals yang digunakan sebagai penutup berhasil jadi pemicu tangis dengan ending paling realistis yang bisa diberikan. Lagu “Ibu” benar-benar menjadi wakil yang menggambarkan perjuangan Sartika.
Pada akhirnya, hidup memang tidak selalu seindah negeri dongeng. Sartika mungkin tidak berakhir dengan keluarga yang utuh, tetapi justru keberadaan kedua anaknya yang membuat dirinya merasa lengkap.
Pilihannya untuk bertahan, hidup, dan melangkah maju menunjukkan bahwa kekuatan seorang perempuan tidak selalu diukur dari apa yang ia miliki, melainkan dari keberaniannya menghadapi hari esok.
Dalam setiap luka yang ia bawa, selalu ada tekad untuk bangkit. Dan dalam setiap kehilangan, selalu ada alasan baru untuk tetap melangkah.
Penulis: Aisyah Banowati