Home » Kisah Pilu ‘Nia’ Penjual Gorengan Diangkat ke Layar Lebar: Penghormatan atau Eksploitasi?

Kisah Pilu ‘Nia’ Penjual Gorengan Diangkat ke Layar Lebar: Penghormatan atau Eksploitasi?

by Aulia Azzahra

Pernahkah kalian melihat sebuah poster film yang bukannya membuat penasaran, tapi justru membuat hati kalian terasa miris dan bertanya-tanya, “Apakah ini pantas?”

Pertanyaan itulah yang kini sedang ramai diteriakkan oleh netizen di platform X (Twitter). Belum kering air mata publik atas tragedi yang menimpa Nia Kurnia Sari, gadis penjual gorengan di Padang Pariaman, kini muncul kabar bahwa kisahnya akan segera diangkat ke layar lebar.

Rencana produksi film berjudul “Nia” ini langsung memicu gelombang protes. Isu utamanya bukan soal kualitas filmnya nanti, melainkan soal etika: Apakah ini murni sebuah penghormatan, atau sekadar aji mumpung mengeksploitasi kesedihan keluarga korban demi tiket bioskop?

Mari kita bedah kontroversi ini dari sudut pandang audiens dan etika industri.

Antara Simpati dan Komersialisasi

Ketika poster film tersebut beredar, banyak dari kalian mungkin langsung mencari bocoran sinopsis film Nia di mesin pencari. Rasa ingin tahu itu wajar.

Namun, narasi yang berkembang di media sosial justru menunjukkan resistensi. Netizen menilai jarak waktu antara kejadian tragedi dengan pengumuman film ini terlalu singkat (too soon). Luka keluarga korban dianggap belum sembuh benar, namun industri perfilman seolah terburu-buru ingin memvisualisasikan kisah nyata Nia penjual gorengan tersebut menjadi tontonan komersial.

Dalam industri kreatif, mengadaptasi kisah true crime atau tragedi nyata memang bukan hal baru. Namun, ada garis tipis antara mendokumentasikan fakta sebagai pelajaran moral dengan mengeksploitasi trauma korban untuk keuntungan finansial.

Untuk memahami bagaimana regulasi dan etika penayangan film yang sensitif seperti ini diatur di Indonesia, kalian bisa merujuk pada pedoman yang dikeluarkan oleh Lembaga Sensor Film (LSF).

Suara Netizen: “Biarkan Dia Tenang Dulu”

Di platform X, sentimen negatif mendominasi. Banyak pengguna yang menyuarakan agar produser lebih peka terhadap perasaan keluarga yang ditinggalkan.

Argumen “penghormatan” sering kali dianggap sebagai tameng belaka jika tidak dibarengi dengan izin yang layak dan pendekatan yang memanusiakan korban, bukan sekadar menonjolkan sisi sadis atau dramatisnya saja. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi para pembuat konten dan film di Indonesia. Viralitas sebuah kasus tidak serta merta menjadi lampu hijau untuk dijadikan ladang bisnis.

Kami di Uzone sering membahas bagaimana tren digital memengaruhi industri hiburan. Untuk analisis mendalam lainnya seputar dunia perfilman dan budaya pop, kalian bisa membacanya di kanal Entertainment Uzone.id.

Batas Tipis Antara Karya dan Luka

Film bisa menjadi monumen ingatan yang abadi, tapi bisa juga menjadi luka baru jika tidak digarap dengan hati-hati. Kasus film “Nia” ini adalah ujian berat bagi kedewasaan industri film kita dan empati kita sebagai penonton.

Bagaimana menurut kalian, apakah kalian setuju kisah pilu ini difilmkan sekarang, atau sebaiknya industri film memberi waktu lebih lama untuk keluarga berduka?

You may also like