Jika seorang penulis cerita menggabungkan antara fiksi psikologis dengan horor, maka akan tercipta sub-genre horor psikologis. Film seperti ini akan fokus pada adegan dan scene yang menyentik kondisi mental, emosional, dan psikologis untuk menakut-nakuti dan mengganggu penonton.
Genre ini akan memasukkan elemen misteri dan karakter dengan kondisi psikologi tidak stabil sehingga akan menciptakan perasaan tidak nyaman bagi siapa saja yang menontonnya. Setiap elemen yang dihadirkan dalam film bergenre horor psikologis digunakan untuk meningkatkan atmosfer cemas, resah, dan mengganggu.
Film horor pertama dalam industri

Selama seabad, film horor telah melewati banyak pasang surut. Sejarah horor sebagai genre dimulai dari karya-karya George Mellies yang cukup mengguncang. George Mellies menciptakan “Le Manoir du Diable” atau yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai “The Haunted Castle” atau “The House of the Devil” yang diyakini sebagai film horor pertama.
Setelah film horor pertama, antara tahun 1900 dan 1920, gelombang film bertema supernatural pun bermunculan. Banyak sineas beralih ke karya sastra klasik sebagai sumber materi. Adaptasi pertama Frankenstein dirilis oleh Edison Studios, kemudian adaptasi Dr. Jekyll and Mr. Hyde masih terus dikenang hingga kini.
Kemudian, genre horor mengalami masa keemasan antara tahun 1920-an hingga 1930-an. Film-film monumental seperti The Cabinet of Dr. Caligari (1920) dan Nosferatu (1922) dianggap Rotten Tomatoes sebagai salah satu film horor terbaik sepanjang masa.
Sejarah awal genre horor psikologis
Genre horor psikologis berawal dari sastra Gotik abad ke-18 dan ke-19. Pada masa awal, fiksi Gotik sering menampilkan narator yang tidak dapat diandalkan yang mengalami manifestasi mengerikan dari ketakutan psikologis mereka. Beberapa penulis terkemuka yang dianggap sebagai pelopor genre ini antara lain Edgar Allan Poe, Horace Walpole, dan Henry James.
Popularitas genre ini terus meningkat dalam dunia fiksi dan film sepanjang abad ke-20. Puncak kejayaannya terjadi pada tahun 1960-an, didorong oleh kesuksesan besar film Alfred Hitchcock, Psycho (1960).
Selain itu, film seperti The Silence of the Lambs yang disutradarai oleh Johnathan Demme , dan Midsommar yang disutradarai oleh Ari Aster, merupakan beberapa contoh horor psikologis dalam film. Contoh film dan fiksi ternama lainnya antara lain Hereditary, Last Night in Soho, mother!, The Yellow Wallpaper, Beloved, Lord of the Flies, dan American Gothic.
Alasan mengapa genre horor psikologis digandrungi

Profesor Madya Haiyang Yang , seorang ilmuwan perilaku di Johns Hopkins Carey Business School—dan rekannya—Kuangjie Zhang dari Nanyang Technological University Singapura telah meneliti alasan mengapa beberapa orang tidak sabar untuk merasa takut.
Berdasarkan hasil penelitian, stimulasi merupakan salah satu pendorong utama konsumsi hroror. Paparan terhadap peristiwa mengerikan, seperti cerita kerasukan setan atau invasi alien, bisa merangsang kita baik secara mental maupun fisik.
Pengalaman semacam ini mampu membangkitkan beragam perasaan. Mulai dari emosi negatif seperti ketakutan atau kecemasan, hingga perasaan positif seperti kegembiraan atau kesenangan. Menariknya, kita seringkali merasakan emosi yang paling positif justru ketika sesuatu memicu perasaan kita yang paling negatif.
Selain itu, hiburan horor juga menawarkan pengalaman baru yang tidak mungkin kita temui di dunia nyata, misalnya skenario kiamat zombie. Pada saat yang sama, horor menyediakan cara yang aman untuk memuaskan rasa ingin tahu kita tentang sisi gelap manusia. Hal ini diperlihatkan melalui alur cerita dan karakter yang berhadapan langsung dengan sisi tergelap dari kondisi manusia itu sendiri.
Ternyata, negara ‘kaya’ lebih menyukai film horor
Menariknya lagi, ketika Haiyang Yang dan Kuangjie Zhang menganalisis data box office film dari 82 negara dan menemukan bahwa individu dari negara-negara dengan PDB per kapita yang lebih tinggi menonton lebih banyak film horor. Namun, fenomena ini tidak berlaku untuk genre lain seperti romansa.
Melalui studi lebih lanjut, peneliti menemukan bahwa individu di negara-negara dengan tingkat kemakmuran yang lebih rendah cenderung memiliki sumber daya yang lebih sedikit untuk membantu mereka merasa memiliki kendali atas hidup mereka. Kondisi ini dapat mengurangi rasa kendali yang diperlukan untuk menikmati film horor.
“Rasa kendali kita dapat berfungsi sebagai bentuk kerangka perlindungan psikologis, prasyarat untuk merasakan kenikmatan dari konsumsi horor,” ungkap Haiyang Yang.