Media sosial banjir pujian, juga kritik untuk ‘SORE: Istri dari Masa Depan’. Sebuah karya terbaru dari tangan dingin Yandy Laurens yang—lagi-lagi—berhasil menyentuh hati.
Bagi sebagian penonton, ‘SORE: Istri dari Masa Depan’ adalah sebuah film yang membosankan, repetitif, dan tidak masuk akal. Namun, tak sedikit juga hati yang berhasil disentuh lewat film ini.
‘SORE: Istri dari Masa Depan’ mengisahkan Jonathan yang dikagetkan dengan kehadiran seorang perempuan bernama Sore yang mengaku sebagai istrinya dari masa depan.
Dengan latar keindahan kota kecil di Kroasia, perlahan Jonathan percaya bahwa Sore, yang mengetahui hal-hal detail tentang dirinya bahkan tentang waktu kematiannya, hadir sebagai kesempatan kedua bagi Jonathan untuk membuat hidupnya lebih baik.
Kata kunci dari ‘SORE: Istri dari Masa Depan’: Penerimaan

Poster film ‘SORE: Istri dari Masa Depan’ memperlihatkan titian tangga melingkar di mana karakter Jonathan yang berada di anak tangga paling atas dengan karakter Sore mengikutinya sambil memegang salah satu pergelangan tangan Jonathan.
Pada anak tangga lainnya, terlihat ada tiga belas karakter Sore dengan ekspresi emosi yang beragam yang menyimpan makna tersirat. Dalam sebuah wawancara, Suryana Paramitha selaku produser mengungkapkan bahwa ide poster ini muncul setelah proses picture lock.
Di sisi lain, Yandy Laurens sendiri mengungkapkan bahwa cerita tentang film ini lahir dari pengalaman pribadinya. Selama delapan tahun menjalin hubungan dan akhirnya menikah, Yandy merasakan bahwa setiap harinya ia bertumbuh sebagai relasi dan penerimaan.
“Maka aku tuangkan kata kunci ‘penerimaan’ itu ke dalam film ini,” ungkapnya dalam sebuah wawancara.
Beratnya jadi sandwich generation dalam ‘1 Kakak 7 Ponakan’
Setiap tahunnya, Yandy Laurens kerap hadir dengan film baru yang nggak cuma menghangatkan hati, tetapi juga menyentuh jiwa. Tahun lalu, ‘1 Kakak 7 Ponakan’ juga ramai jadi perbincangan publik. Yandy mengangkat tema yang relevan dengan banyak kondisi di Tanah Air, sandwich generation.
Lewat tokoh Moko, penonton dibawa melihat sebuah realitas ketika sulitnya memilih antara impian pribadi dan tuntutan keluarga. Hidup Moko yang awalnya penuh dengan masa depan cerah, mendadak berubah hanya dalam satu malam. Moko terjebak dalam situasi rumit antara mengemban tanggung jawab, meniti karier, dan mempertahankan hubungannya.
‘1 Kakak 7 Ponakan’ sendiri memang film baru, namun ceritanya diadaptasi dari sinetron karya Arswendo Atmowiloto. Dibintangi oleh Chicco Kurniawan dan Amanda Rawles., film ini pertama kali tayang dalam Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) dan baru setelahnya didistribusikan ke bioskop.
Hitam putih dalam ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’

‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ langsung menyita perhatian internet. Bukan karena jalan ceritanya, namun karena format film-nya. Yup, Yandy Laurens menggebrak dengan hadirkan film bertema hitam-putih yang masih jarang hadir dalam layar kaca bioskop Tanah Air. Hasilnya? Yandy Laurens berhasil memboyong Piala Citra di Festival Film Indonesia 2024.
Cerita dalam ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-Film’ berfokus pada Hana dan Bagus yang sudah saling lama mengenal. Dikisahkan bahwa Hana baru saja kehilangan kekasih hatinya, sedangkan Bagus adalah seorang penulis naskah yang telah menyukai Hana sejak lama.
Awalnya, lewat karakter Hana yang seorang janda, ia ingin mencoba memahami ibunya. Latar cerita Hana yang menjanda ternyata sudah dipikirkan masak-masak oleh Yandy. Menurutnya, persoalan jatuh cinta “kedua” seorang perempuan, apalagi selepas ditinggal suami, masih menjadi persoalan tabu di Tanah Air.
Namun, setelah kembali dipikirkan, Yandy mengakui bahwa ia membuat film bukan untuk memahami ibunya. Sebab, jika yang diinginkan adalah memahami ibunya, yang harusnya ia lakukan akan pulang kampung dan bertemu ibunya, bukan membuat film.
‘Keluarga Cemara’ yang ternyata nggak selamanya sempurna
Dari seluruh karya Yandy Laurens, ‘Keluarga Cemara’ mungkin jadi karya yang paling banyak diadaptasi menjadi berbagai format. Mulai dari panggung musikal, versi series, hingga dibuat sekuelnya. Film ini bukan hanya apik dari sisi penulisan dan sinematografi, tapi juga pesan yang ingin disampaikannya benar-benar sampai di hati.
Film ini mengisahkan sebuah keluarga yang terdiri dari Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil yang harus pindah ke desa setelah keluarga mereka bangkrut. Kehidupan yang mendadak berubah membuat keluarga ini harus beradaptasi dengan kehidupan baru yang sulit dan berbeda jauh dengan kehidupan mereka dulu.
Film ini mengajarkan betapa sederhananya sebuah kebahagiaan, dan bagaimana keluarga dapat menjadi tempat pulang telah menjalani hari-hari yang panjang. Dan lagi-lagi, tentu saja tidak mengherankan, Yandy Laurens kembali berhasil menarik derai air mata penonton lewat karyanya yang menyentuh.