Home » Pacu Jalur Mendadak Viral, Mari Mengenal Warisan Budaya yang Curi Perhatian

Pacu Jalur Mendadak Viral, Mari Mengenal Warisan Budaya yang Curi Perhatian

by Trisno Heriyanto

Potongan klip bocah penari di atas perahu tradisional viral secara global di TikTok. Julukan “Aura Farming” pun dilekatkan kepadanya. Setelah ditelusuri, ternyata bocah yang bernama lengkap Rayyan Arkan Dikha tersebut sedang menari dalam gelaran Pacu Jalur di Riau. 

Ratusan video yang memparodikan aksi Rayyan di atas perahu pun ikut viral. Atas ketenarannya, Rayyan kemudian diangkat oleh Gubernur Riau, Abdul Wahid, sebagai Duta Pariwisata Riau, serta mendapat beasiswa pendidikan. 

Bukan hanya itu saja, kini tradisi pacu jalur pun menjadi dikenal dunia. Sebelumnya, tradisi Pacu Jalur telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kemendikbudristek di tahun 2014. Memanfaatkan momentum popularitasnya, pemerintah saat ini sedang berupaya mendaftarkan tradisi ini ke UNESCO. 

Sejarah warisan yang mendunia

Awalnya, banyak yang mengira jika pacu jalur adalah olahraga dayung perahu naga karena kemiripannya. Namun, dilansir dari laman Pemerintah Kabupaten Kuansing, kegiatan ini ternyata adalah pesta rakyat masyarakat Riau.

Jika ingin mengetahui sejarah pacu jalur, kita harus kembali ke abad-17. Di masa tersebut, jalur (perahu) adalah alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan. Daerah tersebut berada di sepanjang Sungai Kuantan yang letaknya di antara Kecamatan Hulu Kuantan hingga Kecamatan Cerenti.

Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Alhasil, masyarakat setempat benar-benar memanfaatkan jalur sebagai alat transportasi. Masyarakat benar-benar memanfaatkan jalur untuk mengangkut orang-orang yang hendak bepergian, serta mengangkut hasil bumi. 

Pelan-pelan, masyarakat mulai mengkreasikan jalur mereka. Masyarakat mulai mengukir jalur mereka dengan ukiran kepala ular, buaya, atau harimau pada bagian lambung maupun selembayung jalur masing-masing. Pemilik jalur juga mempercantik jalur mereka dengan berbagai aksesoris seperti tali temali, selendang, tiang tengah, hingga lambai-lambai.

Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. 

Baru pada 100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara lomba adu kecepatan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur.

Masyarakat di kampung-kampung sepanjang Sungai Kuantan kemudian mulai menggelar pacu jalur saat memperingati hari besar Islam. Seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya pacu jalur mulai diadakan untuk memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia sehingga mulai diselenggarakan di bulan Agustus. 

Perkembangan pacu jalur 

Perlombaan pacu jalur adalah tradisi budaya yang telah mengakar kuat di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Jalur, atau yang oleh masyarakat setempat disebut “perahu besar,” adalah perahu unik yang terbuat dari satu batang kayu bulat tanpa sambungan. 

Perahu tersebut mampu menampung 45 hingga 60 pendayung, yang dikenal sebagai anak pacu. Panjang jalur biasanya mencapai lebih dari 100 meter. Konon, perlombaan ini sudah ada sejak tahun 1903. 

Di masa penjajahan Belanda, kegiatan ini diadakan untuk merayakan upacara adat, kenduri rakyat, dan memperingati hari ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus. 

Saat itu, perlombaan biasanya berlangsung dari tanggal 31 Agustus hingga 1 atau 2 September, selama 2 hingga 3 hari, tergantung jumlah jalur yang berpartisipasi.

Saat ini, kegiatan ini telah menjadi agenda tetap Pemerintah Provinsi Riau. Atraksi ini bertujuan menarik wisatawan domestik maupun mancanegara untuk berkunjung ke Riau, khususnya Kuantan Singingi. 

Perpaduan warna-warni kostum para anak pacu, dentuman suara meriam sebagai penanda dimulainya lomba, serta sorakan semangat penonton menciptakan daya tarik budaya lokal yang patut dinanti dan dinikmati.

Istilah yang digunakan dalam perlombaan

Pemerintah Provinsi Riau telah menetapkan peraturan resmi untuk penyelenggaraan Festival Pacu Jalur Tradisional. Peraturan ini juga mencakup istilah-istilah khusus yang mungkin belum familiar bagi penonton awam. Berikut beberapa di antaranya: 

  • Pacu Jalur Tradisional adalah sebuah perlombaan mendayung di sungai dengan menggunakan jalur (perahu panjang) yang bermuatan antara 40-60 anak pacuan.
  • Anak pacuan merupakan orang yang bertugas mendayung jalur (perahu panjang).
  • Tukang Tari adalah penari yang berada pada haluan jalur.
  • Tukang Timbo ruang adalah orang yang bertugas menimba air dalam jalur sekaligus memberikan semangat pada anak pacuan.
  • Tukang Onjai adalah orang yang berdiri di belakang jalur yang bertugas menentukan arah pada anak pacuan jalur.
  • Pendayung merupakan alat yang digunakan oleh peserta pacu dalam menggerakan jalur.
  • Ular-ular dan panggar merupakan penyanggah/pengunci tempat duduk anak pacuan.
  • Pacu Jalur Eksibisi adalah perlombaan yang diselenggarakan secara uji coba, tontonan, peragaan yang diberikan kesempatan kepada instansi, dunia usaha, sponsor dan lainnya.
  • Pacu Jalur Mini adalah perlombaan dengan menggunakan dengan jumlah anak pacuan antara 5-15 orang.

You may also like