Kolaborasi Apple dengan brand fashion asal Jepang, Issey Miyake, berhasil bikin geleng-geleng kepala. Bukan cuma karena produknya, tetapi juga karena harganya yang bakal menguras kantong, terutama bagi kaum mendang-mending.
Yup, belum lama ini Apple meluncurkan sebuah aksesoris yang diberi nama iPhone Pocket. Tas kecil yang mirip kantong ini dirancang khusus untuk iPhone dengan bentuk yang dibuat dengan konstruksi rajutan 3D.
Buat harganya, produk kolaborasi ini dijual mulai dari Rp2 jutaan. iPhone Pocket hadir dalam dua versi, ada yang tali pendek dengan harga USD149,95 atau sekitar Rp2,4 jutaan dan tali panjang dengan harga USD229,95 atau setara Rp3,7 jutaan.
Menariknya lagi, Apple sengaja menjualnya secara eksklusif. Sejauh ini, aksesori iPhone ini hanya akan tersedia di beberapa Apple Store pilihan di negara tertentu, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, China, Singapura, Inggris, dan Italia.
Meskipun banyak yang meragukan produk ini, faktanya tak sedikit pengguna media sosial yang memamerkan iPhone Pocket yang telah mereka beli. Salah satunya adalah pengguna Threds dengan nama akun @0oyukao0, yang kemudian membagikan kegembiraan setelah berhasil memiliki iPhone Pocket tersebut.
Postingan tersebut segera menarik perhatian, termasuk satu komentar mencolok dari akun @keepingupwithkeems. Ia menulis, “I swear companies just try to test the limits of how stupid of a product people are willing to buy. Consumerism is the death of the developed world.”
Pernyataannya tersebut cukup menarik. Lantas, apa yang sebenarnya mendorong orang-orang untuk tetap membeli “barang aneh” yang dirilis oleh merek-merek besar?
Kekuatan brand besar

Sebuah forum di Reddit membahas fenomena serupa.
“Mengapa orang rela membayar ribuan dolar untuk merek desainer padahal mayoritas orang-orang tidak peduli dengan apa yang mereka kenakan?”
Dari puluhan komentar yang penulis baca, dapat ditarik kesimpulan bahwa inti dari semua ini adalah prestise (wibawa). Orang-orang membeli Gucci atau merek sejenis bukan semata-mata karena tampilan atau fungsi produk itu sendiri, melainkan justru karena harganya yang mahal.
Harga mahal berfungsi sebagai penanda kemampuan dan kekuasaan. Ketika seseorang mampu membeli produk asli dari merek seperti Gucci, iPhone, atau Louis Vuitton, artinya mereka memiliki kekayaan, dan melalui pembelian tersebut, mereka dapat merasakan dan memamerkan kekuasaan tersebut.
Pendapat ini kemudian diperkuat oleh berbagai jurnal ilmiah yang membahas topik serupa. Salah satunya adalah jurnal “Signaling Status with Luxury Goods: The Role of Brand Prominence” yang ditulis oleh Young J. Han, Joseph C. Nunes, dan Xavier Drèze.
Secara singkat, brand prominence didefinisikan sebagai tingkat keterlibatan atau kemencolokan identitas merek—baik logo, simbol, maupun nama brand—pada suatu produk ketika digunakan atau dilihat oleh orang lain, yang berfungsi sebagai sinyal status.
Dalam jurnal tersebut disebutkan jika konsumen dengan kebutuhan status yang tinggi cenderung memilih barang dengan logo yang mencolok untuk secara jelas menunjukkan posisi sosial mereka.
Produk aneh dibuat untuk menciptakan marketing yang viral

Menciptakan produk yang aneh atau bahkan melakukan kolaborasi antar merek yang tidak terduga dapat mendorong hype, engagement, dan pada akhirnya, penjualan. Meskipun pemasarannya sering kali terlihat melenceng atau ganjil, tipe strategi ini nyatanya terbukti berhasil. Contoh sukses dari kolaborasi yang tidak konvensional ini adalah KFC x Crocs dan Heinz x Absolut Vodka.
Jika dipikirkan sekilas, kolaborasi antara restoran ayam KFC dan merek alas kaki Crocs memang terdengar tidak masuk akal. Namun, tren yang bergerak cepat saat ini menuntut ide-ide di luar nalar agar suatu produk tetap bertahan. Selain itu, netizen sangat menyukai kekacauan. Semakin nyeleneh sebuah kolaborasi, maka semakin besar peluang produk tersebut menjadi viral.
Untuk memanfaatkan hype ini, merek akan secara sengaja mengeluarkan produk tersebut dalam jumlah terbatas. Strategi ini dirancang untuk menekan perasaan FOMO di benak konsumen, mirip seperti yang dilakukan Apple terhadap produk iPhone Pocket. Alhasil, netizen akan berbondong-bondong membeli produk tersebut demi mendapatkan “barang langka” tersebut.
Teori ini pun sejalan dengan kebutuhan pengakuan sosial di tengah-tengah masyarakat. Memiliki “barang langka” menunjukkan bahwa pemiliknya memiliki kemampuan berupa daya beli untuk memperoleh barang tersebut. Hal ini kemudian menciptakan ilusi bahwa pemiliknya terlihat ‘lebih istimewa’ dan berbeda dibandingkan orang lain.
Produk ‘aneh’ biasa dijadikan produk uji coba
Tak sedikit brand yang sengaja mengeluarkan produk nyeleneh sebagai taktik menguji minat pasar. Pendekatan strategis ini dilakukan untuk mengumpulkan umpan balik pelanggan, memvalidasi ide, dan menilai permintaan potensial sebelum melakukan investasi yang lebih besar.
Dengan memulai dari produk kecil, brand dapat membatasi anggaran dan menekan potensi kerugian apabila produk tersebut gagal di pasaran.
Di sisi lain, kolaborasi nyeleneh juga dapat menjadi nilai tambah karena berfungsi sebagai media ekspresi. Dalam psikologi konsumen, ini disebut self-identity signaling, yang artinya konsumen membeli untuk menunjukkan siapa diri mereka kepada diri sendiri dan kepada orang lain.
Dalam konteks ini, penggemar suatu brand atau figur publik membeli demi ekspresi fandom, bukan karena fungsionalitas. Ini menunjukkan bahwa barang yang dibeli bukan berfungsi sebagai utilitas, melainkan karena makna simbolisnya ketimbang kegunaan fisiknya.
Kesimpulan
Orang-orang tetap membeli “barang aneh” dari merek besar karena keputusan mereka lebih dipengaruhi oleh nilai simbolis daripada fungsionalitas. Produk nyeleneh dan berharga mahal berfungsi sebagai penanda status, prestise, serta kemampuan finansial pemiliknya,
Selain itu, strategi pemasaran berbasis viralitas, perilisan terbatas, dan efek FOMO membuat produk tersebut terasa istimewa dan langka. Bagi para penggemar brand atau figur publik, pembelian ini juga menjadi bentuk ekspresi identitas.
Pada akhirnya, barang tersebut dipilih bukan karena kegunaannya, melainkan karena makna sosial, simbolik, dan emosional yang melekat pada produk tersebut.