Home » Ketika Cinta Bertemu Kutukan dalam Mitos Jawa Kuno

Ketika Cinta Bertemu Kutukan dalam Mitos Jawa Kuno

by Trisno Heriyanto

Legenda kelam dari tanah Jawa kini hadir dalam layar lebar. Film Perempuan Pembawa Sial menggabungkan kisah cinta, kutukan, dan karma. Cerita ini dikemas dalam balutan horor penuh misteri.

Sutradara Fajar Nugros mengangkat mitos Jawa kuno Bahu Laweyan yang sangat mematikan. Mitos ini merupakan kutukan yang masih jarang diangkat dalam perfilman Indonesia.

Dalam mitos Jawa, Bahu Laweyan adalah tanda lahir sebesar koin di bahu kiri seorang perempuan. 

Tanda ini bukan sembarang tanda, tapi simbol kutukan. Perempuan yang memilikinya akan selalu diikuti kesialan, di mana setiap laki-laki yang menikahinya akan mati dengan tragis. Konon, dengan menikah sebanyak tujuh kali akan menghilangkan kutukan itu.

Asal-usulnya pun tak kalah kelam. Pada abad ke-18, Raja Keraton Hadiningrat, Pakubuwono II, murka ketika seorang perempuan pengrajin batik dari Laweyan menolak permintaannya untuk meminjamkan kuda dan tinggal di wilayah kerajaan. 

Sebagai balas dendam, sang raja mengutuk seluruh perempuan di Laweyan agar setiap suami mereka mati secara mengenaskan.

Perempuan yang Dihantui Masa Lalu

Film ini mengikuti kisah Mirah yang diperankan oleh Raihaanun. Hidupnya berubah menjadi mimpi buruk setelah suaminya mati tragis. Warga mengusir dan melabeli Mirah sebagai pembawa sial.

Mirah mulai curiga bahwa semua ini bukan sekadar kebetulan. Ia yakin dirinya merupakan korban kutukan Bahu Laweyan. Kutukan mematikan ini mungkin berasal dari masa lalu yang gelap.

Dalam perjalanannya, Mirah bertemu dengan Bana yang diperankan Morgan Oey. Bana menerima kehadiran Mirah tanpa rasa takut sedikit pun. Perlahan, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka berdua.

Namun, setiap sentuhan fisik di antara mereka bisa berarti kematian. Akankah cinta mereka sanggup mengalahkan kutukan yang ada? Ataukah Bana justru akan menjadi korban berikutnya?

Horor dengan Akar Budaya

Perempuan Pembawa Sial bukan sekadar film horor biasa. Fajar Nugros melakukan riset mendalam terhadap mitos Jawa. Film ini memadukan atmosfer mencekam dengan drama emosional.

Filosofi karma dikemas dalam visual sinematik yang sangat memikat. Narasi yang berlapis membuat cerita ini tidak hanya menakutkan. Penonton akan merasakan kesan mendalam setelah menonton film ini.

Didik Nini Thowok turut menambah aura mistis dalam film. Penari legendaris ini berperan sebagai Mbah Warso, seorang dukun manten. Ia memiliki pengalaman nyata sebagai dukun manten di dunia asli.

Sang maestro mengaku terkejut saat mengetahui tema film ini. Salah satu temannya dahulu pernah terkena kutukan Bahu Laweyan. Saat itu, diperlukan berbagai ritual dan mantra untuk melepasnya.

Bagi Didik, kutukan ini adalah hal nyata dan bukan sekadar mitos. Hal ini membuat film terasa semakin autentik dan menyeramkan.

Didik Nini Thowok: Dari Penjaga Tradisi Hingga Teror

Maestro tari Didik Nini Thowok terlibat dalam film Perempuan Pembawa Sial. Kehadirannya memberikan aura mistis yang sangat kuat dalam cerita. Sebelumnya, Didik dikenal sebagai pelestari seni tari tradisional Jawa dan tari Lengger. 

Ciri khasnya adalah menari menggunakan dua wajah atau double mask. Hal ini menghadirkan pengalaman artistik yang unik sekaligus mistis. Ia memiliki kemampuan luar biasa dalam menembus batas gender saat menari. 

Didik kerap menampilkan keanggunan karakter perempuan dengan penuh ambiguitas. Keahlian ini memberikan dimensi baru yang memikat dalam film horor.

Selain itu, penampilan Didik selalu membawa nuansa spiritual Jawa yang sangat kental. Kostum dan gerakannya sering kali meninggalkan kesan magis bagi penonton. Kualitas inilah yang menjadikannya pilihan tepat untuk layar lebar.

Dalam film ini, Didik menyatu dengan elemen horor itu sendiri. Ia bukan sekadar tampil sebagai seniman biasa di depan kamera. Kehadirannya mempertegas nuansa teror yang mencekam bagi seluruh penonton.

You may also like